Post-Holiday Blues
Setiap liburan panjang berakhir, saya yakin, bukan hanya saya saja yang merasakan sensasi, “koq malas ya untuk ke kantor?”, “duh, harus pergi ke kampus nih?”, “bisa ngak sih, liburan diperpanjang?”, dan sebagainya. Saya yakin, rekan-rekan yang membaca tulisan ini juga merasakan hal demikian juga bukan?
Apa yang sering kita rasakan ini, terutama setelah menjalani libur panjang, apalagi jika liburannya begitu menyenangkan, adalah sebuah kondisi yang dinamakan sebagai post-holiday blues. Yang didefinisikan pada masa awal, lebih kurang enam puluh tahun lalu oleh seorang psikiater bernama Cattel, di mana post-holiday blues ini dianggap sebagai sebuah fenomena regresif (Cattell, 1955), ditandai dengan keadaan seperti: tidak berdaya, posesif, depresif, atau mengharapakan keajaiban agar segala permasalahan yang akan dihadapi segera terselesaikan.
Mengapa kondisi ini bisa terjadi? Banyak hal yang bisa menyebabkannya. Tapi jika kita tarik benang merahnya, bisa kita tarik kesimpulan, karena: setelah seseorang pulang liburan, sampai di rumah, ia menyadari betapa rutinitas yang telah mereka lalui selama ini dan akan kembali mereka jalani, begitu membosankan, jika dibandingkan pengalaman liburan menyenangkan yang baru saja dialami.
Istilah post-holiday blues ini awalnya muncul lewat penelitian di negara-negara yang mayoritas penduduknya merayakan hari natal dan tahun baru. Dua kejadian yang jaraknya cukup berdekatan tersebut membuat banyak di antara mereka yang memilih berlibur panjang. Kebetulan sekali kita juga baru menjalani libur yang cukup panjang selama empat hari, dan sepertinya, pekan depan, saat tahun baru pun, kita bisa kembali liburan tak sekedar sabtu minggu saja. Dan menariknya, penelitian yang berlangsung selama tujuh tahun dan dipublikasikan pada Tahun 1981 berjudul “Christmas and Psycopathlogy” oleh Hillar dan kawan-kawan menemukan satu data di mana terbentuk pola kunjungan pasien psikiatri yang menurun menjelang libur natal dan meningkat tajam setelah berakhirnya libur panjang (Hillard et al., 1981).
Meski post-holiday blues merupakan fenomena yang umum dan bisa terjadi pada siapa saja, kondisi ini sempat dikategorikan sebagai fase depresi sekitar Tahun 1980-an, dan untungnya berdasarkan telaah oleh Baier pada awal Tahun 2000-an mengkategorikannya hanya sebagai reaksi stres (Baier, 1987). Akan tetapi, jika mengganggu performa kita entah itu di kampus atau kantor, tentu tak bisa dibiarkan begitu saja bukan? Lantas, apa yang bisa kita perbuat untuk meng-counter perasaan tersebut?
Jika kita mencoba menelaah berbagai artikel terkait kiat-kiat mengatasi post-holiday blues ini, ada banyak cara yang bisa dilakukan. Entah itu membuat daftar kegiatan, menggunakan pakaian baru, mencoba berolahraga, menjadi relawan di sebuah kegiatan, dan sebagainya. Seperti apapun langkah-langkah yang bisa ditempuh, kita harus ingat kembali ke dasar. Mengapa post-holiday blues bisa terjadi. Karena kembali ke rutinitas. Kita kembali menghadapi realitas yang itu-itu aja. Membuat kita malas dan tak bersemangat.
Nah, terkait tentang rutinitas dan kemalasan, kita perlu tahu ada satu penelitian terbaru yang dilakukan oleh rekan-rekan peneliti dari University of British Colombia yang menganalisis tentang sifat malas seseorang (Cheval et al., 2018). Mereka merekam aktivitas otak para responden dengan bantuan instrumen berupa electroencephalography saat para responden tersebut melakukan sebuah tugas yang diberikan. Mereka didudukkan di depan layar komputer di mana di layar tersebut ada sebuah avatar. Di waktu tertentu, akan muncul gambar. Tugas mereka adalah mendekatkan avatar tersebut pada gambar yang dimaksud, atau menjauhinya. Dengan memanfaatkan EEG, diukurlah reaction time nya. Pada awalnya, partisipan bergerak atau berespon secara cepat terhadap gambar yang muncul di layar. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, berulang-ulangnya tugas tersebut, kecepatan gerakan mereka, baik tangan ataupun respon otak, terdeteksi melambat. Melakukan hal yang sama terus menerus, membuat seseorang menjadi malas.
Oleh karenanya, yang perlu kita lakukan adalah mengubah rutinitas itu. Saat liburan, saya menonton youtube dan berpikir tidak ada salahnya mencoba membuat video sebagaimana yang rekan-rekan saksikan saat ini. Tentunya di jam istriahat. Atau, sekedar menambah action-figure– yang saya beli di Pasar Asemka – di meja kerja, memberi perubahan di ruang kerja. Yang namanya rutinitas itu-itu saja, jadi hilang. Sejak sebelum berangkat ke kampus atau ke kantor dari rumah, cobalah pikirikan hal terbaru apa yang bisa dilakukan, yang terinspirasi dari liburan yang telah dijalani.
Referensi
BAIER, M. 1987. The “Holiday Blues” as a Stress Reaction. Perspectives in Psychiatric Care,24,64-68.
CATTELL, J. 1955. The Holiday Syndrome. Psychoanalytic REview,42,39-43.
CHEVAL, B., TIPURA, E., BURRA, N., FROSSARD, J., CHANAL, J., ORSHOLITIS, D., RADEL, R. & BOISGONTIER, M. 2018. Avoiding Sedentary Behaviors Requires More Cortical Resources than Avoiding Physical Activity: An EEG Study. Neuropsychologica,119,68-80.
HILLARD, J., HOLLAND, J. & RAMM, D. 1981. Christmas and Psychopathology. Data from A Psychiatric Emergency Room Population. Archives of General Psychiatry,38,1377-1381.