NEURO-INSIGHT S4 Eps.1 – Pusat Neurosains UHAMKA
Menu Close

NEURO-INSIGHT S4 Eps.1

Trolley Problem dan Footbridge Dilemma pada #UUCiptaKerja

Rizki Edmi Edison
Pusat Neurosains Uhamka
rizkiedmiedison@uhamka.ac.id

 

Di awal Oktober 2020, Indonesia begitu dihebohkan dengan berita mengenai protes masyarakat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, atau yang dikenal juga dengan istilah Omnibus Law, yang mengundang kontroversi. Ada yang mendukung, namun tak bisa disangkal pula begitu banyak penolakan yang dialamatkan kepada undang-undang tersebut diserta kecaman kepada baik legislatif maupun eksekutif (Santoso., 2020).

Satu hal yang menarik kita cermati terkait #UUCiptaKerja ini bagi saya dari sudut pandang neurosains, bukanlah konten atau isi undang-undang tersebut yang konon mencapai hampir 1.000 halaman, adalah bagaimana seseorang bisa mengambil sebuah keputusan mengenai satu topik yang dipastikan akan memunculkan gejolak. Keputusan yang tidak akan mampu
memuaskan semua pihak. Keputusan yang dalam proses pengambilannnya tentunya memunculkan konflik pada moralitas si pengambil keputusan itu.

Konflik moralitas itu memang bisa diartikan dalam berbagai versi. Akan tetapi, istilah tersebut patut dimengerti sebagai suatu kondisi di mana seseorang berada di persimpangan pada saat menentukan pilihan (Christensen dan Gamila., 2012). Pilihan yang memiliki nilai saling
bertentangan. Sekalipun ia suka akan hasil putusannya, belum tentu putusan tersebut berefek sama pada masyarakat sekitarnya.

Konflik semacam itu sangat beragam wujudnya dalam kehidupan sehari-hari. Guna mengetahui bagaiman respon sikap atau perilaku manusia terhadap sebuah pilihan yang bisa berdampak baik dan buruk, ada sebuah simulasi yang sangat terkenal di mana pelajaran bisa kita petik. Ia dikenal dengan nama trolley problem. Coba anda bayangkan bahwa anda sedang berdiri di dekat rel kereta api. Di mana ada semacam tuas di dekat anda, yang dengan menggeser posisi tuas tesebut maka arah kereta api bisa berubah. Pada saat itu, ada kereta api yang melaju dengan cepat. Sayangnya, di ujung rel, ada lima pekerja yang sedang berdiri di sana. Satu-satunya yang bisa anda lakukan untuk menyelamatkan kelimat pekerja itu adalah dengan cara merubah arah kereta api. Arah laju yang bisa dirubah jika tuas di dekat anda tersebut ditarik. Kereta memang bisa tergeser ke jalur rel yang berlainan, sehingga nyawa pekerja berjumlah lima orang itu bisa terselamatkan. Celakanya, di ujung rel yang lainnya itupun, ada pula pekerja yang berdiri di sana. Berjumlah satu orang. Apa yang akan anda lakukan?

Pertanyaan semacam ini telah diberikan kepada begitu banyak orang, dan hampir semuanya berkata, bahwa lebih baik jika kita menarik saja tuasnya agar arah kereta berubah (Navaratte, dkk., 2012). Sekalipun ada pekerja yang meninggal, jumlahnya hanyalah satu orang. Itu lebih baik dibandingkan kehilangan lima pekerja. Saya yakin, anda pun akan bersikap
kemudian. Pemikiran bahwa menimbang manfaat dan mudhorat pada akhir keputusan, dan lebih mengutamakan manfaat, kita kenal pula dengan istilah utilitarianisme (Gillon., 1985). Ambil keputusan yang lebih sedikit dampak buruknya. Akan tetapi, benarkah manusia itu selalu melihat hasil akhir saja pada saat membuat keputusan?

Kini, kita coba rubah sedikit simulasinya. Anda tak lagi berdiri di samping rel kereta api. Tidak pula di dekat tuas yang bisa merubah arah laju kereta api. Namun, kereta tetap sedang melaju kencang, dan di ujung rel nya berdiri lima pekerja. Anda memang tak berada di samping rel. Anda berada di atas rel itu. Tepatnya di atas jembatan penyebarangan yang melintasi rel.
Satu-satunya cara untuk menyelamatkan kelima pekerja yang masih asyik berdiri itu tanpa mengetahui kereta sedang melaju ke arahnya adalah dengan mendorong seorang berbadan besar, yang sayangnya berdiri persis di samping anda di atas jembatan. Mendorong hingga terjatuh ke rel, sehingga kereta api menabraknya. Namun, lima orang di ujung rel selamat. Simulasi yangdinamakan footbridge dilemma ini sejatinya memberikan hasil yang sama dengan trolley
problem.

Jika merujuk pada utilitarianisme, seyogyanya tidak ada yang menolak cara ini. Satu orang meninggal untuk menyelamatkan lima orang. Akan tetapi, hasil wawancara menunjukkan fenomena yang berbeda (Valdesolo dan David., 2006). Mereka yang menyatakan setuju untuk mendorong satu orang dari atas jembatan agar pekerja lain terselamatkan, jauh lebih sedikit
dibandingkan mereka yang mengamini untuk menarik tuas meski akan mengorbankan satu orang. Kenapa ini bisa terjadi?

Mari kita perhatikan baik-baik apa perbedaan tindakan yang diambil antara trolley problem dan footbridge dilemma. Sekalipun sama-sama mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan lima orang, meskipun dari sudut pandang manfaat dan mudhorat jumlah orang yang terselamatkan tidaklah berbeda, cara yang diambil ternyata jauh berbeda. Pada trolley problem, tindakan yang diambil adalah menarik tuas. Penarikan tuas itulah yang berujung pada kematian satu orang. Sedangkan pada footbridge dilemma, yang dilakukan adalah mendorong orang. Sekalipun hanya satu orang yang dikorbankan pada footbridge dilemma, aksi yang dipilih bersifat “langsung” (mendorong orang). Berbeda halnya dengan aksi pada trolley problem yang sifatnya adalah “tidak langsung” (menarik tuas).

Perbedaan aksi tersebut, yang bersifat “langsung” atau “tidak langsung”, nyatanya memberi pengaruh pula pada seseorang kala mengambil keputusan. Sekalipun pertimbangan manfaat dan mudhorat sebagaimana pada utilitarianisme itu lebih merujuk pada kemampuan otak
manusia untuk berpikir rasional dan logis, keberadaan “calon korban” (sebagaimana pada footbridge dilemma) yang berada di depan mata, dan kita pula yang bertindak sebagai eksekutor dengan mendorong orang tersebut nyatanya memberi stimulasi begitu besar pada bagian otak
manusia yang bertugas dalam hal pengaturan emosi.

Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari #UUCiptaKerja jika dilihat dari kacamata trolley problem, footbridge dilemma, dan otak manusia? Kita jelas bisa menyepakati betapa undangundang yang sangat menghebohkan itu tak akan pernah bisa menyenangkan semua pihak. Ada yang merasa dikorbankan, tak sedikit pula yang mendapat kelegaan. Yang bisa kita pelajari adalah, betapa proses pengambilan keputusan itu bisa “tanpa empati” jika tak terlibat atau berhadapan langsung dengan mereka yang akan terkorban ke depannya. Upaya mengatur tatanan bisa dihadapi tanpa terlalu banyak keterlibatan emosi jika upaya tersebut dilakukan secara tak langsung, misalnya dengan penerapan aturan di atas kertas dan berkekuatan hukum. Akan tetapi, kita pun harus memahami, bahwa mereka-mereka yang akan diatur melalui undang-undang, adalah juga manusia yang memiliki perasaan pula. Saat mengorbankan satu orang untukmenyelamatkan lima orang pada trolley problem itu, pernah dipikirkan bagaimana rasanya menjadi satu orang tersebut? Tentu saja, jika upaya bertemu langsung dengan orang-orang yang bisa jadi akan dikorbankan oleh #UUCiptaKerja ini akan berpengaruh pada emosi pengambil keputusan, bukankah melihat dan mendegarkan mereka di awal adalah kewajiban yang tak mungkin dihilangkan?

Referensi
Christensen, JF dan Gamila, A., “Moral dillemas in cognitive neuroscience of moral decision-making: a principal
review”., neurosci biobehave rev., Apr 2012
Gillon, R., “Utilitarianism”., br med j (clin res ed), May 1985
Navaratte, CD., McDonald, MM., Mott, ML., Asher, B., “Virtual morality: Emotion and action in a simulated threedimensional
“trolley problem””., emotion., Nov 2012
Santoso, Agil Hari., “UU Cipta Kerja Dikecam Buruh, Luhut: Tak Boleh Menang Sendiri, Ini Hidup!”., pikiranrakyat.
com., Okt 2020
Valdesolo, P dan DeSteno, D., “Manipulations of Emotional Context Shape Moral Judgement”., psychological
science., Jun 2006

NEURO-INSIGHT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *