NEURO-INSIGHT S4 Eps.2 – Pusat Neurosains UHAMKA
Menu Close

NEURO-INSIGHT S4 Eps.2

Procastinator of Deadline

Rizki Edmi Edison
Pusat Neurosains Uhamka
rizkiedmiedison@uhamka.ac.id

Setiap pergantian tahun, kita senantiasa menuliskan resolusi tahun baru. Bisa berupa janji untuk berolahraga setiap pagi, diet ketat agar berat badan terjaga, membaca buku minimal satu perminggu, dan sebagainya. Sayangnya, sering sekali resolusi tersebut tertunda dari tahun ke tahun. Bahkan hal-hal yang merupakan kegiatan atau kewajiban sehari-hari pun kita tunda. Sebagai contohnya, para mahasiswa jika diberikan tugas oleh dosen menulis ringkasan artikel, yang mana tugas tersebut harus diserahkan sepekan kemudian, biasanya tidak menuliskan apapun di kertas laporannya pada hari pertama. Di hari kedua sampai ke lima pun tak jarang masih bersih belaka kertas tersebut. Baru di hari ke enam, satu hari menjelang batas akhir, akan kalang kabut menyelesaikan tugas yang diberikan.

 

Menariknya, sifat suka menunda ini bukanlah sifat yang hanya dimiliki oleh orang per orang tertentu saja. Bagi para pelajar, diketahui lebih dari 80% di antara mereka memililih untuk menunda menyelesaikan tugas jika diberikan (Steel, 2007). Bahkan bagi orang dewasa, sekitar 30% diantaranya malah menjadikan menunda sebagai sebuah kebiasaan (Harriot and Ferrari, 1996).

 

Tentu menjadi pertanyaan, mengapa ada kecenderungan bagi seseorang untuk menunda pekerjaan bukan? Sikap menunda ini nyatanya tidak ada kaitannya dengan apa profesi seseorang dan apa pekerjaan yang ia tunda tersebut. Menunda pekerjaan, merupakan upaya diri kita terhindar dari stres yang dihadapi. Mengapa disebut demikian? Saya coba beri satu contoh. Satu ketika, saat saya sedang menempuh studi doktoral bedah saraf di Jepang, profesor pembimbing saya memberi tugas agar menyerahkan laporan data hasil penelitian yang dilakukan. Apakah saya segera melaksanakannya? Tentu tidak. Saya tidak segera mengerjakannya. Saya tidak segera mengerjakan, karena saya tahu, betapa menulis laporan bukanlah hal yang gampang. Saya bingung bagaimana membaca data. Saya tidak mengerti bagaimana menginterpretasikan hasil penelitian. Dan saya pun tidak percaya diri menuliskan interpretasi saya atas penelitian yang dilakukan. Stres melanda saya. Nah, bagaimana caranya agar saya terhindar dari stres? Dengan menundanya. Dengan menunda, stress saya hilang sesaat.

 

Perlu dipahami juga, bahwa ketika seseorang merasakan “sakit” di kepala saat ia teringat akan satu kejadian (dalam contoh di atas adalah saat saya mengingat kembali betapa membuat laporan membuat saya trauma), sakit yang dirasakan secara emosional tersebut memberikan respon yang sama di otak sebagaimana kita disakiti secara fisik (Eisenberger et al., 2003). Oleh sebab itu, jangan dianggap remeh situasi demikian. Menjadi wajar juga , jika banyak orang yang memilih menunda, hanya agar sekedar bisa terlepas dari stres yang melanda.

 

Pada saat kita dilanda stres, bagian otak yang dinamakan sebagai sistem limbik sedang aktif-aktifnya bekerja. Dan sayangnya, aktifnya sistem limbik tersebut malah bisa menyebabkan otak depan kita, yang berfungsi untuk berpikir rasional, malah berkurang perannya (Arnsten, 2009). Stres sebabkan kita memililih untuk menghindar, dan berlanjut ketidakmampun diri kita untuk berpikir rasional mana yang seharusnya menjadi prioritas. Pernah alami kejadian, saat anda stres menghadapi suatu tugas, tapi malah memilih menunda dengan mengutamakan bermain games, dan akhirnya keterusan bermain hingga tamat sampai melupakan bahwa tugas yang diberikan adalah prioritasnya?

Sekarang, apa yang bisa kita lakukan agar kita tidak lagi menunda pekerjaan?

Secara sederhana, ada dua langkah utama yang patut dicoba.

 

Pertama, saat kita diberi tugas, dan kita stres menghadapinya, lalu berniat menunda, maka segeralah ambil “jarak”. Lepaskan sejenak diri kita dari situasi stress yang mencul di kepala. Tak perlu terlalu lama, cukup sekitar 10 detik saja. Dan dalam waktu 10 detik tersebut, lakukan deep breathing technique. Ambil nafas perlahan, lalu hembuskan pelan-pelan. Lakukan berulang-ulang. Teknik ini terbukti mampu meredakan stres (Perciavalle et al., 2017). Kita perlu memahami, bahwa untuk memulai sebuah pekerjaan, dibutuhkan tenaga yang besar. Jangka waktu 10 detik tersebut, merupakan waktu emas untuk mengumpulkan teknik tersebut.

 

Lalu, lakukanlah pekerjaan itu. Lakukan! Tidak ada rumus spesial untuk memulai pekerjaan. Lakukan saja. Jika kita telah memulai pekerjaan, ada peluang sangat besar bagi kita untuk menyelesaikan perkerjaan tersebut. Coba diingat, saat kita begitu malas untuk berlari pagi. Tapi jika kita telah berlari, tanpda disadari kita sudah berlari sangat jauh bukan? Seperti itulah kira-kira.

 

Yang kedua, bagilah pekerjaan besar yang akan kita lakukan menjadi bagianbagian kecil. Pekerjaan besar tak bisa diselesaikan dalam rentang waktu sebentar, yang selain memicu stres juga bisa menurunkan motivasi. Meski kita berniat untuk menulis satu buku di Tahun 2019, membayangkan harus menulis 300 halaman selama satu tahun, jelas akan menyiksa mental kita. Tetapi jika kita niatkan untuk menulis satu halaman perhari, tentu tidak akan menjadi hal yang berat bagi kita bukan?

 

Akhir kata, kita akan tahu, betapa sikap menunda pekerjaan itu tak lebih dari upaya pereda stres. Stres yang diakibatkan karena proses di dalam otak. Dengan “mengakali” cara kerja otak, mudah-mudahan kita tak lagi memilih menunda bekerja.

 

 

Referensi
ARNSTEN, A. 2009. Stress Signalling Pathways that Impair Prefrontal Cortex Structure
and Function. Nature Reviews Neurosciences,10,410-422.
EISENBERGER, N., LIEBERMAN, M. D. & WILLIAMS, K. 2003. Does Rejection Hurt? An
fMRI Study of Social Exclusion. Science,302,290-292.
HARRIOT, J. & FERRARI, J. 1996. Prevalence of Procrastination among Samples of
Adults. Psychological Reports.
PERCIAVALLE, V., BLANDINI, M., FECAROTTA, P., BUSCEMI, A., DI CORRADO, D.,
BERTOLO, L., FICHERA, F. & COCO, M. 2017. The Role of Deep Breathing on Stress.
Neurological Science,38,451-458.
STEEL, P. 2007. The Nature of Procrastination: A Meta-Analytic and Theoretical Review
of Quintessential Self-Regulatory Failure. Psychological Bulletin,133,65-94.

 

NEURO-INSIGHT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *