Mengapa Seseorang membunuh sesama?
Beberapa orang mengiris seseorang semudah mengiris sayuran atau buah-buahan. Pada tahun 2020 kasus pembunuhan yang terjadi ada penembakan terhadap pengusaha pesiar, pembantaian terhadap staff dari salah satu stasiun TV swasta, dan mutilasi yang dilakukan oleh sepasang kekasih yang kemudian potongan mayatnya disimpan di apartement daerah Kalibata.
Namun sebenarnya apa yang membuat seseorang termotivasi untuk saling membunuh ?
Beberapa motif yang palling sering dilaporkan dan umum namun bukanlah sualah satu penyebab utama pembunuhan seperti, balas dendam, anarkis, pembalasan atas pelecehan, dirugikan, bisikan gaib, kerusakan moral, dan bahkan minimnya hati Nurani. Tidak dipungkiri banyak pembunuhan yang terjadi memiliki fakta bahwa adanya keterkaitan antara korban dan pelaku.
Sebagian besar penjelasan tentang motif dalam mengidentifikasikan gejala yang muncul memprediksikan perilaku pembunuhan, namun sedikit sekali penjelasan yang membahas mengenai mengapa perilaku saling membunuh itu terjadi.
Penyakit mental bisa saja menjadi salah satu penjelasan yang umum dan cocok untuk tindak kejahatan dengan kekerasan. Namun, menyatakan penyakit mental sebagai salah satu penyebab utama perilaku terkesan seperti label yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang menunjukan perilaku menyimpang dari budaya yang seharusnya. Banyak para ahli gagal dalam mendiagnosa secara akurat mengenai hal itu.
Selama ini pada kasus-kasus pembunuhan yang diperiksa adalah pelakunya seperti apa yang melatar belakangi dengan kegagalan untuk mengakui bahwa perilaku yang sama dapat mewakili berbagai motif pembunuhan dengan memberikan sejumlah kesimpulan bahwa pelaku merasa frustasi, marah, kesal, dan dendam. Hal ini sama sekali tidak membahas mengenai sumber emosi atau kepuasan emosional yang dicapai oleh pelaku.
Seorang psikopat memiliki dasar psikologis yang dibutuhkan untuk dapat merasa puas, Ketika kebutuhan kepuasan terus menerus tidak didapatkan dalam keseharian maka, mereka memberlakukan sebuah strategi yang disebut dengan self-handicaping untuk membuatnya merasa lebih baik seperti penyalahgunaan zat, atau bahkan seperti isu yang sedang dibahas dalam artikel ini yaitu membunuh.
Adanya tujuan dan sebuah pencapaian yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu dan sulit membuatnya menjadi kurang kendali sehingga meragukan hidup nya lalu menjadikannya frustasi hingga emosi yang sangat menggebu. Hal ini sebagai seorang manusia wajar saja dialam, merasa perasaan tersebut perlu diminimalisir untuk merasa lebih baik seperti mencoba berdamai dengan keadaan, bersabar, atau mencari hal yang lebih positif untuk dilakukan namun, pada seorang psikopat solusi terhadap hal ini adalah menyakiti ataupun bahkan membunuh.
Dalam hal ini seseorang dengan Emotional Intelligence yang baik akan mengetahui bagaimana cara untuk mengontrol dirinya sehingga mampu mengendalikannya. Dari penjelasan ini telah diketahui bahwa frustasi atau sikap yang keluar seperti menyakiti atau membunuh merupakan kurangnya strategi dalam meregulasi emosi.
Kemudian timbal balik social ketika ada orang berbuat tidak adil atau memfitnah seolah kita memiliki kewajiban untuk membalas ataupun reward terhadap kebaikan yang didapatkan. Bagi seorang pembunuh hal ini adalah reaksi timbval balik .
Lalu apa bedanya dengan anda ?
Menyadari bahwa ada acara yang lebih dapat diterima secara sosial, lain halnya seorang psikopat yang akan cenderung melakukan pemaksaan bila tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sehingga baik bagi kita untuk selalu berpikir positif dan menjaga emosi kita, juga menyirami diri kita dengan nilai-nilai kehidupan agama, dan social.
Tetapi kita tidak boleh pula memberikan judgement terhadap seseorang yang melakukan kekerasan bahwa mereka tidak dibelkali beberapa nilai-nilai karena, tidak semua orang mendapatkan bekal nilai yang sama, lingkungan yang sama.
Keep Positive!
Source :
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New
York, NY: Freeman.
Davidson, R. J., Putnam, K. M., & Larson, C. L. (2000).
Dysfunction in the neural circuitry of emotion regulation–a
possible prelude to violence. Science, 289(5479), 591-594.
Englander, E. K. (2007). Understanding violence. Mahwah, NJ:
Erlbaum.